DRAMATIS. Juga tragis dan ironis. Begitulah kesan dan pemaknaan yang muncul dari terjaringnya Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 11 Agustus 2022.
Kejadian ini sebenarnya merupakan berita besar, namun tertutup oleh trending topic kasus mantan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, yakni kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Kasus ini bukan hanya mengguncang jagat Indonesia, namun juga terus menyita perhatian publik oleh perkembangan baru yang menarik.
Kasus Ferdy Sambo ini pula yang membuat saya harus mendahulukan untuk membahasnya pada tulisan pekan lalu. Itu tulisan kedua soal Sambo. Tulisan ketiga atau terakhir mungkin nanti setelah diketahui ending-nya atau setelah muncul putusan pengadilan. Sekarang giliran membahas kasus Bupati Pemalang.
Penangkapan atas Mukti Agung Wibowo merupakan kejadian yang dramatis. Sesuai keterangan pimpinan KPK, Mukti ditangkap di pintu gerbang DPR sesudah menemui seseorang di gedung parlemen. Dia diringkus bersama 33 anggota rombongan lainnya beserta bukti-bukti penguat dugaan suap jual-beli jabatan dan proyek di Kabupaten Pemalang.
Ibarat ula marani gebug, Mukti bukan ditangkap di Pemalang tetapi malah di Jakarta. Dia tampaknya tidak menyadari kalau sedang dipantau oleh KPK. Padahal, sejak mendapat informasi tentang setoran dari para bawahan di Pemkab Pemalang kepada Mukti, KPK mulai menguntit perjalanannya. Termasuk memantau kedatangan rombongan tersebut ke sebuah rumah di Jakarta Selatan sebelum ke DPR.
Alhasil, sejumlah barang bukti langsung diamankan. Antara lain uang tunai Rp 136 juta, buku tabungan Bank Mandiri atas nama Adi Jumal Widodo (AJW) selaku orang kepercayaan Mukti yang berisi uang sekitar Rp 4 miliar, ATM atas nama AJW yang digunakan Mukti, dan slip setoran BNI atas nama AJW senilai Rp 680 juta.
Ketua KPK Firli Bahuri menduga, Mukti juga menerima uang suap Rp 2,1 miliar dari pihak swasta. Penerimaan uang ini masih didalami oleh KPK. Sejumlah ruangan dan kantor dinas di Pemkab Pemalang juga disegel. Total uang suap yang diduga telah diterima Mukti baik tunai maupun tabungan sebesar Rp 6,2 miliar.
Dari 34 anggota rombongan, enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Mukti dan Komisaris PD Aneka Usaha AJW sebagai penerima suap. Kemudian Penjabat Sekretaris Daerah Slamet Masduki, Kepala BPBD Sugiyanto, Kadis Kominfo Yanuarius Nitbani, dan Kadis Pekerjaan Umum Mohammad Saleh sebagai pemberi suap. Mereka ditahan di Rutan KPK secara terpisah.
Mulutmu Harimaumu
Tragisnya, Mukti ditangkap hanya sehari setelah dia berpidato mengingatkan bawahannya untuk tidak korupsi. Ketika melantik Slamet Masduki sebagai Penjabat Sekda pada Rabu, 10 Agustus 2022, Mukti berpesan kepada bawahannya agar menghindari tindakan korupsi. Slamet menggantikan Sekda Mohammad Arifin yang telah ditetapkan oleh Polda Jateng sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan jalan.
Dalam sambutannya, Mukti juga meminta Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) untuk mengawasi pejabat pemerintah daerahnya. “Lebih baik kita mencegah (korupsi) karena kalau sudah terjadi tidak ada obatnya,” katanya.
Acapkali kita menyaksikan keanehan pada perilaku sejumlah pejabat publik. Mereka sering lupa atau tidak menyadari apa yang sedang diperbuat dan apa yang diucapkan, sehingga antara perbuatan dan ucapan bertolak belakang. Padahal, sudah banyak contoh sebelumnya yang bisa dijadikan kaca benggala atau isyarat kewaspadaan.
Misalnya, trio duta antikorupsi Andi Mallarangeng – Anas Urbaningrum – Angelina Sondakh yang berakhir di penjara karena korupsi. Dalam kasus Brigadir J, Ferdy Sambo sebelumnya juga pidato berapi-api mengingatkan jajaran kepolisian untuk menjaga citra Polri. Dia berjanji menindak tegas setiap pelanggaran etika dan pidana anggota Polri. Itu tersiar dalam rekaman video yang viral. Tidak tahunya pagar makan tanaman. “Mulutmu harimaumu”, begitu istilah gaulnya.
Mungkin para pejabat publik sebaiknya mawas diri agar tidak terjatuh dalam nasib tragis seperti dialami sebagian pendahulunya. Alih-alih menganggap dirinya bersih, para pejabat publik mesti ingat kata-kata terkenal dari Lord Acton: Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut akan sangat korup).
Dengan kekuasaannya, kepala daerah mesti mewaspadai apa yang disebut oleh Ketua KPK Firli Bahuri sebagai “titik-titik rawan korupsi yang tinggi”, yaitu proses promosi, mutasi, dan manajemen SDM pada tata kelola pemerintahan. Di situ kepala daerah bisa tergoda untuk memanfaatkannya demi keuntungan diri sendiri atau orang lain.
Ironi Dinasti Dewi Sri
Dalam kasus Mukti Agung Wibowo, dia tampaknya juga mengabaikan atau menganggap sepele pesan kontemplatif dari kakaknya, Ikmal Jaya. Setelah keluar dari LP Kedungpane Semarang pada 20 Juni 2022, mantan Wali Kota Tegal periode 2009-2014 itu berpesan kepada jajaran birokrasi dan pelayan masyarakat agar bekerja sungguh-sungguh dan amanah agar masyarakat sejahtera dan bahagia.
Pesan itu adalah hasil “yudisium” Ikmal setelah 7 tahun mendekam di Kedungpane. Penjara baginya seperti pesantren untuk bertobat, belajar agama, menghafal Alquran, dan rajin beribadah. Dia kini merasa malu dengan status sebagai mantan narapidana. Dia pun tampaknya berkesimpulan, percuma dan sengsara menjadi kepala daerah yang tidak amanah, tidak memikirkan kesejahteraan masyarakatnya.
Ikmal dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang dan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah pada 2015 atas kasus korupsi tukar guling lahan tempat pembuangan akhir (TPA) Bokongsemar Kota Tegal pada 2012. Kerugian negara akibat tukar guling lahan ini senilai Rp 31,5 miliar. Untuk itu, dia dipidana penjara selama 7 tahun.
Ikmal dan Mukti adalah dua dari empat anak pasangan Ismail dan Rochayah, pemilik usaha transportasi bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) PO Dewi Sri yang berpusat di Tegal. Dengan kekayaan aset dari 500 lebih unit bus yang dimiliki, baik bus reguler dengan trayek dari beberapa kota di Jawa Tengah ke Jakarta maupun bus transportasi di dalam wilayah Jabodetabek dan bus pariwisata, keempat anak dari pasangan juragan itu terjun ke politik.
Pada 2009, Ikmal terpilih menjadi wali kota Tegal. Kakaknya, Edi Utomo, gagal dalam Pilkada Kabupaten Tegal tahun 2013. Namun setahun sebelumnya, Idza Priyanti, adiknya Ikmal, berhasil terpilih dalam Pilkada Kabupaten Brebes 2012 setelah lebih dulu menjadi wakil bupati. Kini Idza masih menjabat sebagai bupati Brebes untuk periode kedua.
Si bungsu Mukti mengikuti jejak kakak-kakaknya. Dia berhasil menjadi wakil bupati Pemalang (wakilnya Bupati Junaedi) periode 2011-2016. Dengan popularitasnya sebagai wabup, Mukti terpilih menjadi bupati dalam Pilkada 2020 dan dilantik pada Februari 2021. Jadi dia baru 1,5 tahun menjabat sebagai bupati Pemalang.
Dua dari tiga kepala daerah dinasti PO Dewi Sri harus mengakhiri jabatannya karena korupsi. Hal ini cukup ironis, karena semula orang beranggapan bahwa mereka “tidak butuh uang” dari jabatannya. Untuk apa mereka mengejar kekayaan, apalagi dengan cara melanggar hukum, jika memang sudah kaya.
Penentu Nasib Dinasti
Kasus-kasus yang terkait dinasti politik ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Setelah kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pada 2017 yang merugikan negara Rp 79 miliar, kasus dinasti Dewi Sri menguatkan pertanyaan-pertanyaan berikut: Lazimkah dinasti politik dalam sistem demokrasi? Apa sebenarnya motif anggota dinasti terjun ke politik? Bagaimana masyarakat menyikapi praktik dinasti politik?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya dijelaskan perbedaan istilah “dinasti politik” dan “politik dinasti”. Keduanya merupakan konsep yang berbeda. Dinasti politik mengacu pada aktor-aktor politik yang memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan. Politik dinasti menunjuk pada perilaku politik yang menggunakan ikatan kekeluargaan atau kekerabatan sebagai modal sosial untuk mendapatkan atau menjalankan kekuasaan politik.
Di berbagai negara, termasuk negara-negara yang sudah maju demokrasinya, dinasti politik sudah merupakan keniscayaan. Kita mengenal dinasti Kennedy dan Bush di Amerika Serikat. Di India, ada dinasti Gandhi (regenerasi politik dari Nehru ke Indira Gandhi ke Rajiv Gandhi ke Sonia Gandhi). Juga ada dinasti Jinnah dan Bhutto di Pakistan. Dinasti Aquino pernah berkuasa di Filipina. Di Indonesia tercatat ada beberapa dinasti mulai dari dinasti Soekarno, Ratu Atut, Dewi Sri hingga Joko Widodo.
Dalam level jabatan bupati atau wali kota, tercatat ada lebih banyak dinasti sebagai berikut:
- Kota Tangerang Selatan (Airin Rachmy Diani, adik ipar Atut).
- Kabupaten Bangkalan (Makmun Ibnu Fuad, anak mantan bupati Fuad Amin).
- Kabupaten Probolinggo (Puput Tantriana Sari, istri mantan bupati Hasan Aminuddin).
- Kabupaten Kediri (Hariyanti, istri mantan bupati Sutrisno).
- Kendal (Widya Kandi Susanti, istri mantan bupati Hendy Budoro).
- Kutai Kartanegara (Rita Widyasari, anak mantan bupati Syaukani HR).
- Lampung Selatan (Rycko Mendoza, anak Gubernur Lampung Sjachruddin ZP).
- Kabupaten Pesawaran, Lampung (Aries Sandi Dharma, anak bupati Tulang Bawang).
- Tabanan, Bali (Ni Putu Eka Wiryastuti, anak mantan bupati Tabanan).
- Cilegon, Banten (Imam Aryadi, anak wali kota).
- Bantul (Sri Suryawidati, istri mantan bupati Idham Samawi).
- Indramayu (Anna Sophanah, istri mantan bupati Indramayu).
- Gibran Rakabuming Raka dan M. Bobby Afif Nasution (wali kota Solo dan Medan, anak dan menantu Jokowi).
Menurut Mosca (Ernesto Dal Bo, 1996), dinasti politik muncul karena tokoh-tokoh politik cenderung menurunkan kelas politiknya kepada generasi berikutnya atau di bawahnya. Proses pewarisan kekuasaan politik ini didorong oleh terbukanya peluang posisi politik. Keluarga yang sebelumnya telah mendapatkan kekuasaan politik akan menyerahkan kekuasaan politik pada generasi di bawahnya.
Stephen Hess (1977) mengatakan, dinasti politik dapat terus hidup atau mati tergantung dari tindakan generasi penerusnya. Orang-orang yang berada dalam lingkungan dinasti politik memiliki sejumlah keuntungan. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan politik keluarga.
Berbagai keuntungan dinasti politik dijelaskan oleh Brownstein (1990). Antara lain, nama besar keluarga, kekayaan keluarga, jaringan politik yang telah dibangun anggota dinasti politik sebelumnya, dan yang terpenting dalam kaitan kontestasi politik adalah bukti kepada masyarakat bahwa keluarganya mampu untuk berpolitik.
Dari berbagai pendapat sarjana tersebut menjadi jelas, motif kebanyakan tokoh politik mewariskan kekuasaan politiknya pada anak atau kerabat dekatnya adalah untuk menjaga citra politik dan kekayaan keluarga serta mempertahankan jaringan politik yang sudah dirintis oleh pendahulunya.
Bagaimana dengan dinasti politik yang membangun sendiri kekuasaannya, bukan mewarisi kekuasaan dari orang tuanya? Dinasti Dewi Sri dan generasi pertama dari sejumlah dinasti yang menguasai pemerintahan kabupaten atau kota di Indonesia, sebagaimana tersebut di atas, mendapatkan peluang politik karena pilkada langsung yang dimulai sejak Juli 2005.
Karena itu, berbeda dari karakter para tokoh politik dalam dinasti yang sudah mapan, mereka kurang kuat dalam menjaga citra dan warisan keluarga, kekayaan, serta jaringan politiknya. Ikmal dan Mukti tidak terikat dengan citra ayah dan ibunya, karena orang tuanya bukan tokoh politik. Ismail dan Rochayah hanyalah juragan bus, meskipun konon Rochayah banyak berperan dalam pencalonan anak-anaknya di pilkada.
Mengacu pada pendapat Hess, keluarga sebagai mentor politik cukup berperan dalam mengendalikan perilaku politik para anggotanya. Ketiadaan mentor membuat para aktor politik “dinasti instan” cenderung kehilangan orientasi politiknya. Bandingkan dengan Gibran dan Bobby yang harus mempertimbangkan citra Jokowi. Begitu pula para pewaris lainnya dari dinasti-dinasti besar.
Menurut Mosca, dinasti politik bisa bertahan dalam sistem politik yang tradisional maupun demokratis. Dengan demikian, hidup-matinya dinasti politik lebih ditentukan oleh faktor internal dan eksternal.
Selain faktor internal yang dipicu oleh kegagalan dinasti dalam memanfaatkan berbagai benefitnya, faktor eksternal ditentukan oleh pengendalian masyarakat. Sesuai pendapat Almond dan Powell (1996), masyarakat yang bisa mengendalikan dinasti politik dan juga politik dinasti adalah yang memiliki budaya politik partisipan dengan kesadaran politik yang tinggi.
Jadi kelangsungan dinasti politik dan penguasaan jabatan publik oleh politik dinasti di Indonesia akan tergantung dari perilaku politik dinasti yang bersangkutan dan juga kesadaran politik masyarakat.
—
Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.