ATAP – Penthol bersama petani melon di Kabupaten Tegal sing arané Akhmad Turmudi. Dhéwéké pandai memodifikasi peralatan fungsional pada pada dengan peralatan Drip Fertigation (IFD) yang dapat langsung mengairi sawah.
Sayangnya, IFD bukanlah teknik pemblokiran yang terkenal. Namun, anak laki-laki kiyé dapat mengembangkan teknik kiyé-nya dengan cara yang lebih ekonomis dan efisien.
Petani Enom dari Desa Gumalar, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal Kuwé merupakan salah satu petani milenial yang fokus pada budidaya melon. Dhéwéké mulai bekerja di pertanian sajegé pada tahun 2019. Tahun kiyé kuwé ping teluné dhéké kualitas ekspor melon karo.
Saat PanturaPost berkunjung ke kebun melon Jagasura Farm, Desa Gumalar, Selasa (14/03/2023), besok, mereka memberikan penjelasan panjang tentang gangguan saat mulai mengairi 1 hektar melon.
“Teknik IFD umumnya digunakan di kawasan budidaya hibrida modern. Rumah kaca. Biasanya terdiri dari banyak teknologi penanganan, pipa, pengatur tekanan dan lain-lain,” ujar bocah yang akrab disapa dengan nama itu. dari Mudi Melon.
Sajegé mulai memikirkan dan menganalisis keinginan untuk menghemat energi dengan kuwé tërké wis. Masalahnya, yang pertama berkaitan dengan pemasangan versi IFD yang lebih royal. Banyu blahahan neng endi-endi dan tidak ada biro.
“Ayo pergi sekarang, merujuk ke Youtube dan buku, saya akan mulai melakukan penelitian teknis kecil-kecilan yang melibatkan IFD dan saya akan mulai komputasi dengan saudara laki-laki saya. Tapi harganya mahal kan, kata Mudi.
Sawise memikirkan penelitian sederhana, Mudi memahami pengganti yang lebih murah dan mengetahui bahan mentah, terutama komponen. Dhéwéké sangat pandai menghilangkan komponen terlarang. Bersamaan dengan drop-stick, disimpan di tepi sepatu bot karena merupakan regané yang lebih murah.
Saliyané kuwé, Mudi juga merawat komponen utama seperti ban pompa, pipa, katup yang memeriksa aliran air, selang pressure drop untuk memastikan aliran air mengalir.
“Kalau asumsi pemasangan kiyé pembangunan, dijamin bisa hemat 6 kali lipat dari anggaran penggantian. Saliyané bukan fungsi untuk mengairi batang, alat kiyé juga efektif di lahan non pemupukan”, terangnya. .
Sejak saya menggunakan instrumen saya, Wong Lanang pada tahun 1992. Lahir di jalan, teknik kiyé bermanfaat bagi masyarakat dan efektif karena tidak perlu menyiram secara manual.
“Canta jelas efisien karena banyak menggunakan air dan lebih hemat teman-teman. Segera Nyiramé taruh di sekitar kotak pasir. Biaya penyelesaian Kiyé berkurang signifikan dibandingkan dengan mengandalkan tenaga manual,” ujar Mudi.
Mudi menjelaskan, karena pelatihan itu banyak yang dilebih-lebihkan. Dadi di jalan agar pengunjung tidak terganggu. Banyu juga lebih steril, karena aman dari penyebaran penyakit tular tanah.
“Pertumbuhan masa vegetatif dan pra generatif akan tumbuh lebih indah dan seragam,” ujarnya.
Mudi mengaku butuh waktu 3 minggu untuk panen. Hasil panen diharapkan lebih baik dan akan diekspor dari Singapura dengan bantuan kerjasama dengan Bank Indonesia.