Tegakkan Aturan dan Edukasi Suporter Sepakbola – Panturapost.com | Tegal Info

Tegakkan Aturan dan Edukasi Suporter Sepakbola – Panturapost.com | Tegal Info

Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022 menunjukkan bahwa paksaan masih diabaikan dalam pertandingan sepak bola kita. Demikian juga, perilaku pendukung kami sering membahayakan keselamatan dan keamanan nyawa orang lain.

Masalahnya adalah pada tahap itu pangkalan Arema Malang membunuh 131 suporter pasukan Aremania. Kucing itu adalah penggunaan gas air mata oleh polisi untuk membubarkan para pendukung yang turun ke lapangan, setelah pertemuan Arema melawan Persebaya Surabaya yang berakhir dengan kemenangan Persebaya 2-3.

Ini adalah insiden penggunaan gas air mata kedua dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Insiden pertama terjadi di Stadion Gelora pada 10 November di Tambaksari, Surabaya pada 2012, saat kehebohan suporter mewarnai pertandingan antara Persebaya dan Persija Batavia.

Mirip dengan kejadian di Stadion Kanjuruhan, ribuan suporter menyerbu Stadion Tambaksari dan dibubarkan aparat keamanan dengan gas air mata. Mereka lari menyelamatkan diri, dan pintu keluar bertabrakan dengan kesulitan, sehingga satu orang tewas dan puluhan luka-luka.

Pada tahun kejadian Kanjuruhan, Polri menetapkan enam tersangka, tiga direktur pertandingan dan tiga pemimpin sendiri. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Ahmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Penyelenggara Pertandingan Abdul Harris, Petugas Keamanan Suko Sutrisno, Kapolres Malang Opis, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Komandan Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, dan Kapolsek Samapta Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi.

Dari enam tersangka, dua orang dianggap bertanggung jawab atas banyak korban, yakni pimpinan Brimob Polda Jatim AKP AKP Hasdarman dan Dispenkes Suko Sutrisno. Hasdarman dituduh sebagai pejabat yang memerintahkan penggunaan gas air mata, sedangkan Suko Sutrisno dituduh melalaikan tugasnya. Pintu keluar stadion hanya setengah terbuka, sehingga para penggemar stres kemacetan.

Terbesar kedua di dunia

Tragedi Kanjuruhan kini dikenang sebagai peristiwa penggunaan gas air mata dalam perlombaan yang menelan korban jiwa terbanyak di dunia. Tragedi pertama terjadi di Peru pada tahun 1964 yang menewaskan 318 orang. Kemudian di Tripoli pada tahun 1968 (30 orang meninggal), Haiti pada tahun 1976 (6 tewas), di Brasil pada tahun 1985 (3 meninggal), Zimbabwe pada tahun 2000 (13 meninggal), tiga tragedi lainnya di Afrika Selatan, Kongo dan Ghana, yang semuanya terjadi. pada tahun 2001 dengan yang terburuk di Ghana (126 meninggal).

Mungkin karena insiden seperti itu sering terulang, badan sepak bola dunia (FIFA) telah melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Aturan Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA tertuang dalam Pasal 19 Huruf B. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa gas air mata dan senjata api dilarang keras dibawa ke dalam stadion, apalagi digunakan untuk pengendalian massa.

Tidak hanya peraturan FIFA, penggunaan gas air mata juga dilarang di Amnesty International. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan negara dalam lalu lintas atau pengendalian massa sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Menanggapi tragedi yang merenggut banyak nyawa, FIFA memutuskan untuk berperan di Indonesia untuk mengubah sepak bola Indonesia. Perubahan tersebut berupa peningkatan efisiensi stadion dan peningkatan profesionalisme aparat dan aparat keamanan.

Sikap pemerintah Indonesia sedikit berbeda dengan sikap pemerintah Ghana. Presiden Joko Widodo hanya memerintahkan Polri mengusut kasus ini. Sementara itu, Presiden Ghana John Agyekum Kufuor, tanpa menyelidiki penyebab panggilan telepon tahun 2001 itu, juga menyatakan tiga hari berkabung nasional dan menangguhkan liga sepak bola utama negara itu selama satu bulan.

Cegah Anarkisme Penggemar

Profesionalisme penyelenggara dan aparat keamanan dalam pertandingan sepak bola semakin berkembang karena pengetahuan, pelatihan, dan kepatuhan terhadap aturan. Untuk itu, FIFA biasanya menjatuhkan sanksi kepada negara, klub, atau asosiasi sepak bola atas peristiwa yang berkaitan dengan perilaku penonton.

Dengan cara ini, FIFA memaksa klub, asosiasi sepak bola nasional atau negara bagian untuk secara paksa menekan massa agar tidak melakukan tindakan kekerasan atau tidak jujur. Bisa dilakukan dengan membuat aturan yang sama kerasnya terhadap orang yang mengganggu atau dengan menciptakan panggung sistem dan lingkungan yang paling bersahabat dengan kesehatan tubuh dan pikiran.

Otoritas publik dan sepak bola Indonesia harus konsisten menerapkan regulasi yang ada untuk menekan anarkisme, tidak hanya di dalam stadion tetapi juga di luar stadion. Termasuk kelompok pendukung yang merusak fasilitas umum dan mengganggu urusan publik, yang tidak ada hubungannya dengan balapan.

Suporter sepak bola Indonesia masih butuh edukasi. Namun, fokusnya tentu bukan pada suporter saja, karena suporter hanyalah salah satu bagian dari sistem sepakbola besar. Sistem pemain sepak bola yang hebat mencakup banyak elemen yang saling mendukung. Jika salah satu elemen terganggu atau tidak profesional, elemen lain akan menjadi korban dan seluruh sistem akan terpengaruh.

Itulah yang terjadi dengan sepak bola Indonesia. Ketika kepercayaan badan sepak bola internasional meningkat di Indonesia, diputuskan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, tragedi Kanjuruhan terjadi. Makanya ke depan pendukungnya terbiasa tertib dan aparat keamanan tidak lagi gagap, karena tahu aturan dan profesional.

A. Zaini Bisrijurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti, Tegal.

Baca juga : Berita Tegal